
Jasa Vulnerability Management
Mei 29, 2024Mengapa Perguruan Tinggi Rentan Terhadap Serangan Siber? Ini Penjelasannya
Dalam beberapa tahun terakhir, serangan siber terhadap institusi pendidikan tinggi semakin meningkat. Banyak kampus ternama di seluruh dunia – termasuk di Indonesia – menjadi korban serangan digital mulai dari pencurian data, ransomware, hingga sabotase sistem. Lantas, mengapa perguruan tinggi menjadi target empuk bagi pelaku kejahatan siber? Artikel ini akan menguraikan faktor-faktor penyebabnya secara ringkas namun menyeluruh.
1. Akses Terbuka dan Jaringan Luas
Salah satu keunikan dari sistem TI perguruan tinggi adalah budaya akses terbuka. Kampus mendorong kolaborasi, penelitian terbuka, dan kebebasan berekspresi. Hal ini membuat banyak jaringan universitas bersifat lebih longgar dibandingkan lembaga pemerintah atau perusahaan swasta.
Sebagai contoh, mahasiswa, dosen, peneliti, dan staf non-akademik bisa mengakses jaringan dari berbagai perangkat pribadi: laptop, ponsel, tablet. Jaringan Wi-Fi kampus pun seringkali tidak sepenuhnya dienkripsi atau dikontrol dengan ketat.
Dalam kondisi ini, pelaku siber hanya perlu menemukan satu celah kecil – misalnya, perangkat mahasiswa yang tidak terlindungi antivirus – untuk bisa menyusup ke dalam jaringan kampus dan bergerak lebih jauh ke sistem lain yang lebih sensitif.
2. Banyaknya Data Sensitif
Perguruan tinggi menyimpan beragam jenis data sensitif. Mulai dari informasi pribadi mahasiswa dan dosen (nama, alamat, NIK, nilai akademik), hasil penelitian ilmiah, data keuangan, hingga data biometrik (pada kampus yang memakai sistem presensi sidik jari atau wajah).
Data ini sangat bernilai tinggi di pasar gelap digital (dark web). Sebagai contoh, data akademik bisa digunakan untuk pemalsuan ijazah, sedangkan data keuangan bisa menjadi sasaran penipuan.
Tidak heran jika perguruan tinggi menjadi sasaran utama ransomware – jenis serangan di mana data dikunci dan hanya bisa dibuka jika tebusan dibayar. Kampus seringkali tidak siap menghadapi ini, apalagi jika tidak punya cadangan data yang memadai.
3. Kurangnya Sumber Daya Keamanan TI
Banyak universitas, terutama di negara berkembang, memiliki sumber daya TI yang terbatas. Artinya, mereka mungkin memiliki tim IT, tetapi tidak semua punya divisi khusus keamanan siber (cybersecurity).
Akibatnya, sistem keamanan jaringan tidak diperbarui secara rutin, perangkat lunak tidak selalu di-patch (diperbaiki), dan log aktivitas tidak dimonitor secara menyeluruh.
Selain itu, banyak perguruan tinggi fokus pada pengembangan sistem pembelajaran atau administrasi akademik, sementara keamanan jaringan dianggap sebagai beban biaya tambahan – padahal justru aspek ini sangat krusial.
4. Target Eksperimen atau Uji Coba
Ironisnya, kampus juga menjadi target karena dianggap tempat yang ideal untuk menguji kemampuan peretas. Banyak penyerang siber – termasuk dari kalangan pelajar dan mahasiswa – menjadikan sistem kampus sebagai “ruang latihan”.
Mengapa? Karena sistem kampus seringkali besar dan kompleks, tetapi memiliki pertahanan yang tidak seketat sistem perbankan atau militer. Hal ini menjadikannya tempat uji coba yang menarik sebelum beraksi ke target yang lebih besar.
Beberapa kasus serangan justru dilakukan oleh mahasiswa internal sendiri, baik karena iseng, tantangan, atau motif pribadi.
5. Kompleksitas Sistem dan Aplikasi
Perguruan tinggi biasanya menggunakan banyak sistem dan aplikasi sekaligus: sistem manajemen pembelajaran (LMS), portal akademik, sistem perpustakaan digital, keuangan mahasiswa, kepegawaian, hingga email institusi.
Masing-masing sistem itu bisa berasal dari vendor berbeda, dikembangkan di waktu berbeda, dan dioperasikan oleh tim yang berbeda pula.
Semakin kompleks sistem yang dipakai, semakin besar pula potensi terjadinya kerentanan atau celah keamanan. Celah ini bisa terjadi karena kurangnya integrasi, penggunaan perangkat lunak versi lama, atau human error.
6. Edukasi dan Kesadaran Pengguna Masih Minim
Sebagian besar pengguna sistem kampus – terutama mahasiswa – belum memiliki kesadaran penuh soal keamanan siber. Misalnya:
- Menggunakan password yang mudah ditebak.
- Mengakses jaringan kampus dari perangkat yang tidak terlindungi.
- Meng-klik tautan dari email phishing tanpa berpikir dua kali.
- Mengunggah file ke sistem tanpa memastikan keamanannya.
Kurangnya edukasi dan pelatihan secara berkala menyebabkan kampus jadi mudah ditembus dari sisi pengguna. Padahal, sistem keamanan yang canggih bisa gagal hanya karena satu klik keliru dari pengguna biasa.
7. Kurangnya Kebijakan Keamanan yang Tegas
Tidak semua perguruan tinggi memiliki kebijakan keamanan TI yang tertulis, jelas, dan ditegakkan secara tegas. Bahkan jika ada, pelaksanaannya sering tidak konsisten.
Sebagai contoh:
- Tidak ada standar wajib penggunaan password kuat.
- Tidak diterapkan autentikasi dua faktor (2FA) pada sistem penting.
- Tidak ada audit berkala atas keamanan sistem.
- Tidak ada respons cepat jika terjadi insiden keamanan.
- Ketiadaan regulasi internal ini membuat lingkungan digital kampus menjadi rapuh dan rawan eksploitasi.
8. Ketergantungan Tinggi pada Sistem Digital
Sejak pandemi COVID-19, hampir semua perguruan tinggi bertransformasi ke arah digital secara besar-besaran: kuliah daring, absensi online, ujian online, bimbingan virtual, dan sebagainya.
Transformasi cepat ini membuat banyak kampus mengadopsi teknologi tanpa perencanaan keamanan yang matang. Aplikasi pihak ketiga digunakan tanpa audit. Sistem cloud dipakai tanpa enkripsi.
Ketergantungan tinggi ini membuat perguruan tinggi tidak bisa “berhenti” sejenak untuk memperbaiki sistem. Akibatnya, keamanan menjadi aspek yang terabaikan dalam kejar-kejaran digitalisasi.
9. Minimnya Pelaporan Insiden
Banyak kampus enggan mengungkap bahwa mereka mengalami insiden siber karena alasan reputasi. Padahal, pelaporan insiden penting untuk evaluasi sistem dan edukasi publik.
Minimnya pelaporan ini membuat banyak serangan tidak terdokumentasi dan tidak dianalisis secara menyeluruh. Pelaku pun jadi lebih leluasa karena tahu bahwa serangan mereka tidak selalu direspons serius.
Kesimpulan
Perguruan tinggi memiliki posisi yang unik: mereka menyimpan data penting, memiliki sistem terbuka, dan melibatkan banyak pengguna dengan tingkat kesadaran keamanan yang beragam. Inilah yang membuat kampus menjadi target empuk serangan siber.
Agar tidak terus menjadi korban, perguruan tinggi perlu:
- Menanamkan budaya keamanan digital kepada seluruh sivitas akademika.
- Mengalokasikan anggaran khusus untuk keamanan TI.
- Menjalankan audit keamanan secara berkala.
- Memperkuat kebijakan keamanan internal.
- Melibatkan tim profesional dalam mengelola sistem TI.
Di era digital ini, keamanan siber bukan lagi pilihan, tapi keharusan – termasuk bagi dunia pendidikan tinggi.